
Untuk menyusuri sejarah terbentuknya DPI kita mau tidak mau harus merujuk pada latar belakang terjadinya kesepakatan pada semua komponen industri periklanan pada suatu standar etika. Kesepakatan ini dipicu oleh munculnya banyak biro iklan baru pada akhir 1970-an yang menimbulkan banyak masalah etika. Hal ini terjadi karena masih awamnya para praktisi periklanan pada praktik-praktik periklanan yang baik. Selain itu munculnya biro-biro iklan asing atau yang berafiliasi dengan biro-biro iklan raksasa dunia, telah pula ikut menambah terjadinya benturan nilai-nilai budaya Indonesia dengan asing. Ini terjadi karena biro-biro iklan asing ini banyak yang melakukan / menggunakan langsung, atau adaptasi atas materi-materi kampanye periklanan dari negara-negara maju, khususnya yang dari negara-negara barat. Bahkan termasuk iklan-iklan yang melanggar hukum positif seperti barang-barang berbahaya, minuman keras, dan pemasaran hewan-hewan yang dilindungi.
Situasi maraknya bisnis periklanan yang didorong oleh mulai ‘sadar iklan’-nya banyak perusahaan nasional serta masuknya berbagai produk asing telah membuat banyak pihak alpa akan pentingnya menjaga etka beriklan. Pada masa itu praktis tinggal instansi-instansi Pamong dan perusahaan-perusahaan negara saja yang belum ‘sadar iklan’.
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) asosiasi yang relatif baru dari biro-biro iklan nasional saat itu, merasa terpanggil untuk mencoba membuat standar etika periklanan di Indonesia. Di bawah pimpinan Savrinus Suardi dan Indra Abidin yang masing-masing menjabat Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, PPPI mulai menghimpun rujukan dari beberapa negara maju. Sekaligus mengajak komponen-komponen lain periklanan untuk duduk bersama menyusun etika periklanan.
Sejak awal dicanangkannya tekad untuk menyusun etika itu, PPPI telah berketetapan hati untuk menyusun etika berperilaku para praktisinya, sekaligus dengan etika berbisnis antarperusahaan. Hal ini sebagian didorong oleh kenyataan terjadinya persaingan kurang sehat antara biro-biro iklan lokal dengan yang dimiliki atau berafiliasi dengan asing.
Itu sebabnya sejak rancangan pertama hingga kini, standar etika periklanan sudah mencakup baik yang terkait dengan profesinya (code of conducts), maupun yang terkait dengan usaha atau bisnisnya (code of practices). Kedua sistem nilai inilah yang kemudian disebut Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI).
PPPI selain bertindak sebagai pemrakarsa dan koordinator penyusunan standar etika ini, juga memprakarsai ditandatanganinya ikrar besama antarkomponen periklanan nasional. Sukses penyusunan dan pengikraran etika ini direstui oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo, yang ikut menyaksikan pengikrarkan pertama TKTCPI ini pada 17 September 1981. Penandatangan ikrar dilakukan oleh para Ketua Umum asosiasi pendukung, yaitu:
- Asosiasi Pemrakarsa & Penyantun Iklan Indonesia (Aspindo)
- Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GBPSI), kini menjadi Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia, dengan singkatan tetap GPBSI
- Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI)
- Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), yang sekarang disingkat P3I.
- Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), yang sekarang merupakan singkatan dari Serikat Penerbit Pers
Bersamaan dengan ditandatanganinya ikrar dukungan untuk mematuhi TKTCPI itu, dibentuklah lembaga pengawas dan penegaknya yang diberi nama Komisi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (KTKTCPI). Komisi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Dewan Periklanan Indonesia (DPI).
Pada Tahun 1989 anggota KTKTCPI bertambah dengan masuknya Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesisa (AMLI). Asosiasi ini kini menjadi Asosiasi Perusahaan Luar Griya Indonesia, namun singkatannya tetap AMLI. Perubahan dilakukan guna menyesuaikan dengan praktik para anggota asosiasi sejenis di mancanegara yang tidak hanya menangani periklanan media luar ruang (outdoor), namun juga periklanan dalam gerai (in-store), transit, di dinding (wallscape), dan lain-lain, sehingga istilah luar griya (out of home) memang lebih sesuai.
Meskipun nama asosiasi ini mengandung kata “indonesia”, tapi sebenarnya asosiasi ini masih berlingkup di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta saja. Ada tiga alasan KTKTCPI menerima bergabungnya AMLI, yaitu:
- Ia merupakan satu-satunya asosiasi periklanan luar-ruang di Indonesia.
- Jakarta saat itu merupakan daerah yang paling lengkap memiliki peraturan tentang periklanan, termasuk periklanan luar-ruang.
- Keberhasilan penerapan standar etika periklanan di Jakarta akan dapat menjadi contoh atau rujukan bagi daerah-daerah lain di Indonesia.
Pada tahun 1991 keanggotaan KTKTCPI bertambah lagi dengan beroperasinya televisi swasta nasional. Yayasan TVRI, sebagai badan usahanya, yang memayungi semua perusahaan Televisi Swasta di masa itu pun diundang masuk, dan menjadi anggota baru KTKTCPI.