
Nama Komisi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia sebenarnya tidak mencerminkan semua Peran dan Tugas KTKTCPI. Karena Komisi ini juga berkiprah dalam beberapa kegiatan lain, seperti pendidikan, mendukung penerbitan-penerbitan pers daerah, kampanye layanan masyarakat, dan sosial kemasyarakatan lainnya. Bahkan menjadi penghubung antara industri periklanan dengan pihak Pamong.
Karena itu, pada tahun 1992, melalui Baty Subakti, sebagai Ketua Presidum KTKTCPI yang mewakili industri periklanan di Dewan Pers, pada sidang Dewan Pers XXXVIII mengusulkan perubahan nama KTKTCPI. Usul ini disetujui oleh sidang pleno Dewan dan sejak itu nama KTKTCPI yang panjang dan agak rumit itu, diubah dan diringkas menjadi Komisi Periklanan Indonesia(KPI).
Hingga saat itu, oleh Pamong, industri periklanan memang masih diposisikan sebagai pendukung industri media pers. Hal ini terkait dengan fakta masih banyaknya media pers yang secara bisnis amat lemah. Terutama di daerah-daerah, sehingga dengan merangkul industri periklanan dalam keluarga pers pihak Pamong berharap periklanan dapat menunjang kehidupan penerbitan-penerbitan pers lemah itu dengan anggaran kampanye periklanan. Itu sebabnya periklanan masuk sebagai anggota ‘keluarga pers nasional’ bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), dan Serikat Grafika Pers (SGP).
Peran periklanan secara khusus tercantum dalam salah satu keputusan Dewan Pers yang berbunyi sbb.:
“Secara aktif, positif dan kreatif menghidupkan dan mengembangkan periklanan yang berbudaya dan bertanggungjawab, sejalan dengan jiwa dan semangat ketentuan Undang -Undang No. 21 Tahun 1982 tentang perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang–undang No.4 Tahun 1967 beserta semua peraturan pelaksanaan lainnya.”
Bahkan peran periklanan bukan hanya melekat pada kehidupan bisnis pers, ia juga diharapkan ikut memberi sumbangan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu sebabnya dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)1998-2003, tercantum peran yang diharapkan negara pada industri periklanan, sbb.:
“Pembangunan periklanan nasional terus ditingkatkan dan dimanfaatkan secara positif dan kreatif untuk mendinamisasikan kegiatan perekonomian masyarakat tentang pembangunan, mengimbangi dan menangkal pengaruh negatif pesan komunikasi pemasaran, meningkatkan kecintaan masyarakat pada produk dalam negeri, dan memantapkan daya saing produk nasional.”
Yang cukup membanggakan adalah, bahwa isi narasi ketetapan GBHN tersebut praktis sama dengan teks yang diusulkan oleh KPI kepada Departemen Penerangan RI.
Di masa itu memang ada dua isu yang paling santer disuarakan oleh Pamong maupun DPR-RI tentang periklanan, yaitu:
- Bagaimana mendorong masyarakat agar lebih mengutamakan produk dalam negeri
- Menangkal merembesnya pengaruh nilai-nilai budaya asing melalui pesan-pesan periklanan
Pada tahun 1999 anggota KPI bertambah lagi dengan masuknya Forum Komunikasi TV Swasta yang kemudian menjadi Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI). Pada 18 Desember 2003, nama perkumpulan ini berubah lagi menjadi Asosiasi Televisi Swasta Indonesia, namun dengan singkatan yang sama, ATVSI.
Masuknya ATVSI sebagai anggota baru KPI tidak mengubah atau menganulir keanggotaan Yayasan TVRI yang semula mewakili kepentingan perusahaan-perusahaan TV swasta. Dengan demikian, hingga saat itu anggota asosiasi dan yayasan yang bergabung dalam KPI menjadi delapan.